Selama ini jika kita berbicara tentang "Banjar", sepertinya selalu terbatas pada daerah Banjarmasin saja, kota yang berada di hilir sungai Barito atau di muara sungai Martapura, dekat dengan Laut Jawa.
Mengatakan jika Banjar hanyalah Banjarmasin tentu hal itu akan terasa sangat terbatas, siapa yang membaca buku Alfani Daud pasti mendapati catatan penelitian beliau di daerah Hulu Sungai, beliau sendiri merupakan urang Hulu Sungai asli.
Hulu Sungai adalah daerah tua yang tidak terlalu luas, dengan diameter hanya sekita 60 kilometer, pada jaman dahulu daerah ini berpenduduk lebih padat dari daerah manapun diseluruh Pulau Kalimantan, dipercaya di sana lah dulu kerajaan Tanjungpura pertama kali didirikan, juga dimana kerajaan Nansarunai pernah berdiri, kerajaan Dipa dan Kerajaan Daha pernah berada.
Jika melihat peta, daerah Hulu Sungai sangat jauh dari Laut Jawa di selatan Pulau Kalimantan, ratusan kilometer jauhnya, butuh beberapa hari berperahu dari muara Barito, sedang dari sebelah timur terhalang Pegunungan Meratus, di utara terhalang oleh pegunungan Muller yang tersambung pegunungan meratus, dan di sebelah barat dibatasi rawa-rawa dan Sungai Barito.
Orang-orang penduduk Banjarmasin dan Martapura sampai saat ini pun masih menyebut penduduk dari Hulu Sungai sebagai urang Hulu Sungai, begitu juga sebaliknya orang hulu sungai menyebut penduduk Banjarmasin dan Martapura sebagai orang Banjar.
Di Hulu Sungai secara lebih terperinci terbagi dalam beberapa kelompok berdasar nama-nama sungai besar yang ada disana seperti urang Amandit atau urang Kandangan, urang Alai atau urang Barabai, urang Pamangkih, urang Haruyan, urang Paringin, urang Amuntai, urang Alabio, urang Nagara, urang Kalua, urang Tanjung, urang Lampihong.
Hulu Sungai-lah sumber asal kebanyakan perantau yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Urang Banjar, urang Hulu Sungai-lah yang menyebar ke seluruh Nusantara, mereka bisa ditemukan hampir di setiap daerah di Kalimantan, bahkan di Borneo Malaysia dan Brunei, jutaan dari mereka ada di Sumatera dan Semenanjung Malaysia, begitu pula begitu banyak di Pulau Jawa, Bali dan Lombok bahkan Sulawesi.
Sayang memang, tidak banyak catatan dan penelitian tentang Hulu Sungai ini, kalaupun ada hanya sekilas saja.
Daerah Hulu Sungai adalah salah satu daerah paling makmur ketika jaman kolonial sebagai salah satu pusat karet dunia, tapi Hulu Sungai juga merupakan salah wilayah yang paling menentang penjajah jika dilihat dari banyaknya migrasi mereka ke luar Kalimantan dengan alasan politis karena ketidaksenangan berada dibawah kendali kolonial, urang Hulu Sungai juga mempunyai bakat berdagang yang baik, di Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur urang Hulu Sungai adalah penguasa perdagangan kelas menengah, bahkan dipedalaman Kalimantan sekalipun, lihat saja disana pasti ada pedagang urang Amuntai, urang Alabio.
Urang Hulu Sungai juga merupakan birokrat yang handal, banyak tokoh yang berasal dari Hulu Sungai (termasuk jaringan keluarganya) yang menjadi tokoh birokrat dan politik semenjak dari jaman kolonial hingga saat ini. Urang Hulu Sungai bisa diterima di daerah manapun di Kalimantan. bahkan urang Hulu Sungai dianggap sebagai representasi urang asli Kalimantan yang sangat berperan di perpolitikan nasional semenjak awal masa kemerdekaan.
Urang Hulu Sungai mempunyai identitas khas sebagai urang Islam yang taat, meskipun begitu urang Hulu Sungai juga mempunyai beberapa hal negatif yang sering disematkan kepada mereka, seperti suka berkelahi dan pantang mundur bila ditantang dimanapun mereka berada.
Sampai saat ini pun migrasi urang Hulu Sungai masih terjadi, di Pulau Jawa, misalnya di Situbundo (jika saya tak salah sebut) urang Banjar khususnya dari urang Nagara (wilayah di barat Kabupaten Hulu Sungai Selatan) adalah pedagang yang lebih banyak daripada urang China, urang Banjar banyak hadir di kota-kota utama di Pulau Jawa semenjak dahulu, seperti Surabaya, Semarang, Jogja, Solo, Bandung, dan pastinya Jakarta, selain pedagang urang Banjar juga banyak berprofesi menjadi ulama, dan sebagian malah preman.
Hulu Sungai memang unik, cilik riwut pernah menyebut dalam bukunya tentang urang Pamangkih di sungai Barabai yang masuk wilayah kecamatan Labuan Amas dan memasukkannya sebagai bagian dari sub Suku Dayak, Belanda pernah menyebut Dayak Mantaas di aliaran Sungai Batang Alai dekat Sungai Buluh dan Dayak Haruyan di hulu Sungai Labuan Amas, padahal daerah ini terletak di pusat Hulu Sungai, serta tentu saja juga disebutkan bubuhan bukit yang dianggap sebagai Banjar Meratus,
Bubuhan Labuhan (ada yang menyebutnya dengan Dayak Labuhan), yang hanya beberapa kilometer dari Birayang merupakan salah satu bubuhan bukit paling maju dan berpendidikan tinggi semenjak tahun 70-an, di didaerah Halong kabupaten Balangan kita akan menemukan Desa Kapul yang serupa dengan Bubuhan Labuhan yang juga berpendidikan tinggi. Ingat sekali lagi bahwa wilayah Hulu Sungai tidak lah terlalu luas.
Jika saja penelitian tentang Hulu Sungai sebagai bagian dari Banjar lebih digalakkan maka tentu saja akan sangat menarik.
Tentang Melayu, maka tak usah heran, sebagai sesama turunan Bahasa Austra, kita pasti tidak akan terlalu sulit untuk saling memahami Bahasa Melayu sebagai bahasa utama perdagangan dan diplomasi yang menyebar bahkan sampai ke Papua dan digunakan hingga saat ini, Bahasa Banjar pun tidak lah luput dari pengaruh bahasa tersebut, namun jangan salah, bahasa asli Hulu Sungai tentu juga ada, tidak jarang dalam Bahasa Banjar kita menemui dua kata yang mempunyai pengertian yang sama, seperti “sembunyi” dalam Bahasa Banjar pasaran dan "basungkup" dalam bahasa Hulu Sungai yang pengertiannya sama. Seperti dijelaskan, Bahasa Banjar Hulu Sungai lebih mirip dengan bahasa Dayak Kedayan, Kutai, dan beberapa sub suku di utara Kalimantan, juga tentu saja dengan bahasa beberapa suku lain sperti diseluruh Kalimantan.
Permasalahan pakaian dan tradisi orang Banjar yang mirip Melayu, maka kita pun akan melihat orang Kutai, Tidung , Paser, Bulungan, bahkan orang-orang Gorontalo yang jauh disana juga sangat Melayu, orang-orang Buton dan bahkan orang-orang Ternate, itu hanya masalah cara berpakaian di jamannya saja. Seperti kita juga saat ini yang terkena dampak hiruk pikuk fashion.
Secara pribadi saya tidak begitu setuju dengan penaman bagi seluruh suku di Kalimantan sebagai Dayak, seolah itu ingin menyamakan yang memang berbeda. Ada kelompok yang senang menyebut bahwa Banjar adalah keturunan Dayak, ada juga yang bersikeras bahwa Banjar berbeda sama sekali dengan Dayak. Tidak ada yang berdiri sendiri dalam dunia ini, nkita seolah akan kembali kelihatan sangat tidak nyaman jika hanya berpaku pada primodialisme. tapi saya juga memahami hal ini mau tidak mau akan terus dipertanyakan.
Dari Kalua (banua lawas), di bantaran Sungai Tabalong, di mana dahulu kerajaan Tanjung Pura dan Nan Sarunai pernah berdiri sungguh amat lah dekat jaraknya dengan Tamiyang Layang dimana urang Ma’anyan berada, Tamiyang Layang merupakan daerah tradisional Banjar, hingga jaman kolonial pun daerah itu dimasukkan dibawah kekuasaan Banua Lima, jika melihat peta pembagian daerah saat ini dimana Tamiyang Layang dimasukkan ke wilayah Kalimantan Tengah pasti akan bingung memahami sejarah sebenarnya.
Orang Kalua merupakan keturunan orang Ma'anyan asli.
Jika Tamiyang Layang berada hanya beberapa kilometer disebelah barat Kalua (Banua Lawas), Warukin berada hanya beberapa kilometer disebelah timur Kalua, Warukin merupakan daerah tradisional orang Ma'anyan semenjak dahulu kala, beberapa kilometer sebelah timur Warukin. Kita pun mendapati daerah Lampihong di sungai Balangan yang padat semenjak dahulu kala oleh orang Hulu Sungai.
Dengan sedikit bumbu penyedap.
0 komentar:
Posting Komentar