Pages

Labels

Diberdayakan oleh Blogger.

Categories

Kamis, 03 Agustus 2017

Riwayat Singkat Habib Lumpangi - Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf


Penulis : Saadillah Mursyid


Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Tepatnya di wilayah Kecamatan Loksado. siapa yang tak mengenal pesona alamnya yang masih asri, rindang dan sejuk. Air Terjun Haratai, Riam Hanai, Rampah Menjangan dan bamboo rafting-nya. Tentulah pelancong baik dari Kalimantan Selatan maupun nasional dan internasional juga mengenal Loksado. Lantas, siapa yang menyangka saat kita menaiki rakit dari paring (bambu) dari Loksado hingga Lumpangi tentulah melewati jembatan ayun yang merupakan akses satu-satunya untuk menuju alkah pemakaman para Habaib zuriyat Rasulullah saw. yang berada di bawah Bukit Langara yang lebih dikenal dengan Pemakaman Habib Lumpangi. Di sanalah terdapat kubah utama yang apabila masuk lokasi pemakaman Habib Lumpangi langsung berjumpa dengan Kubah Habib Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf. Berikut penulis akan mengulas sedikit riwayat beliau.

Biografi Habib Abu Bakar Assegaf
Sayyid Abu Bakar bin Habib Hasan bin Hasyim bin Muhammad Assegaf atau yang lebih di kenal dengan nama Habib Lumpangi adalah salah satu ulama berpengaruh dalam penyebaran agama Islam di Hulu Sungai Selatan. Nama Habib Lumpangi diperoleh karena beliau mensyi’arkan, menyebarkan, dan mengajarkan agama Islam atau berdakwah di Lumpangi, tepatnya di KM.21 kampung Pantai Ulin (dulu Balai Ulin), desa Lumpangi, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan.

Kubah Habib Abu Bakar Assegaf
Menurut cerita tetuha masyarakat setempat, kakek-kakek mereka sempat hidup sezaman dengan Sayyid Abu Bakar tersebut, ketika warga Kampung Hamawang banyak yang menghindar dari kesewenangan penjajah Belanda dan memilih menetap menjadi orang gunung di Kampung Lumpangi. Disebutkan bahwa perawakan beliau tinggi besar dan memiliki janggut yang panjang sampai ke dada.

Beliau adalah keturunan Habib zuriyat Rasulullah dengan marga Assegaf yang berasal dari Hadramaut, Yaman, Yordania yang berhijrah ke Lumpangi. Assegaf adalah salah satu fam atau marga dari keturunan Rasulullah saw. melalui jalur Sayyidina Husein AS.  Assegaf, dalam arti bahasa arab adalah 'atap' yg bermaksut atapnya para wali, atapnya para fam/marga, karena auliya' terbanyak, termashur, dan terkemuka dari assegaf, fam/marga lain terbanyak pecahan assegaf, Pendahulu-nya yaitu Habib Abdurrahman bin Muhammad Assegaf yang mana juga dijuluki Muhammad faqih al-muqaddam tsani.

Sayyid Abu Bakar bin Hasan Assegaf adalah seorang yang alim lagi berpengaruh di Hulu Sungai Selatan. Beliau menuntut ilmu agama dan ilmu lainnya dari guru beliau yaitu ayah dan kakeknya sendiri yang bernama Habib Hasan dan Habib Husin rahimahullah.

Sayyid Abu Bakar bin Hasan Assegaf hidup di paroh akhir abad ke-18 M. Menurut angka tahun di nisan beliau, tercatat wafat pada tahun 1902 M dalam usia dewasa.. Beliau bermakam di Alkah Balai Ulin Desa Lumpangi Kecamatan Loksado Kabupaten Hulu Sungai Selatan (masuk gang samping masjid Jannatul Anwar sekitar 300m). Menurut folklor setempat, pembawa agama Islam yang pertama di wilayah pegunungan meratus adalah Habib Idrus bin Hasyim bin Muhammad Assegaf beserta saudaranya yang bernama Habib Hasan bin Hasyim bin Muhammad Assegaf yang sekarang bermakam di Desa Taniran Kubah 500 meter dari makam Syaikh Tuan Guru Haji Muhammad Thaib atau Datu Taniran.

Para zuriat Rasulullah saw. tersebut konon berasal dari Hadramaut, dan menginjakkan kaki pertama di Bandarmasih (nama lama Kota Banjarmasin). Setelah sempat beberapa waktu menetap dan memperistri seorang warga di kota Bandar itu yang melahirkan seorang putra bernama Habib Ali bin Idrus Assegaf, Habib Idrus beserta keluarga tersebut kemudian berpindah ke wilayah Banua Anam, tepatnya ke kampung Lumpangi. Konon, perjalanan ke kampung tersebut pada waktu itu ditempuh hanya dengan berjalan kaki dari kota Bandarmasih.

Haul Sayyid Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf biasa dilaksanakan oleh ahlul bait beliau pada tanggal 17 Dzulhijjah di kubah beliau.

Pemikiran dan Kiprah Habib Abu Bakar Assegaf
Sayyid Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf adalah ulama dengan mazhab Syafi’I yang mempunyai tariqat atau berkidahkan Ahlussunah wal Jama’ah. Beliau sangatlah antusias dalam penyebaran agama Islam di wilayah pegunungan Meratus bersama ayah dan paman beliau. Diantara desa-desa jamahan beliau dalam penyebaran agama Islam adalah Halunuk, Panggungan, Malinau, Muara Hatip, Tanuhi, Hulu Banyu hingga pelosok Loksado.

Sayyid Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf  memiliki gambaran jama’ah dakwah yang mirip dengan wali songo di Tanah Jawa. Di kampung Lumpangi kala itu masih berupa kehidupan Balai, yaitu Balai Ulin; dan di sana terdapat tokoh yang disebut penghulu Balai yang terkenal dengan kemampuannya mengobati orang sakit. Ternyata, kemampuan medis habib yang baru datang ke wilayah itu lebih tinggi darinya, sehingga warga Balai sangat terkesima dan akhirnya mau menerima Islam. Bahkan, disebutkan bahwa di antara tokoh habib itu ada yang menikahi puteri penghulu Balai Ulin. Sedangkan warga Balai yang enggan menerima Islam akhirnya menyingkir sampai ke kampung Tanuhi sekarang, meskipun akhirnya terus didatangi oleh para habib sampai beroleh kesepakatan bahwa Tanuhi merupakan batas wilayah Islam, karena warga Balai yang tetap dengan agama leluhurnya semakin menyingkir ke kampung Loksado.

Sayyid Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf dalam berdakwah tidak sama sekali menggunkan cara kekerasan. Beliau berdakwah dengan cara lemah lembut dan santun yang mana mencerminkan akhlak Rasulullah saw. Menjadikan Islam mudah diterima oleh masyarakat pegunungan Meratus. Setelah sekian lama berdakwah dengan sabar dan perlahan tapi pasti, semakin banyak warga masayarakat setempat yang dulunya tidak beragama (atheis) dan Kaharingan memeluk agama Islam.

Kampung Lumpangi pun berkembang pesat, dan setelah berhasil beradaptasi dengan masyarakat sekitar, beliau memulai berdakwah secara lisan di kalangan warga mengenai akhlak dan amaliyah serta ajaran lainnya. Setelah diterima dengan baik oleh warga Lumpangi, mereka pun bersemangat untuk mempelajari agama Islam. Sedangkan rumah yang dipergunakan tempat mengajar dan berdakwah di Kampung tersebut yang semula hanya dihadiri oleh beberapa orang saja lama kelamaan menjadi penuh, karena warga setempat makin bertambah yang menerima Islam. Kemudian, dibangunlah mesjid dengan konstruksi yang sangat sederhana, yaitu bertiangkan kayu Sungkai, berdinding Kajang, dan beratapkan rumbia. Mesjid inilah yang kemudian dikenal bernama Jannatul Anwar.

Menurut pendapat masyarakat setempat warga yang mengikuti pengajiannya tak hanya dari Loksado tetapi juga dari daerah lain seperti Kandangan , Barabai, Nagara, Amuntai dan berbagai daerah lainnya.


Peninggalan Habib Abu Bakar Assegaf
Sayyid Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf pada masa beliau tinggal di Batu Tangah (tidak jauh dari Pantai Ulin) sempat memperistri seorang wanita (yang sampai sekarang masih belum penulis dapati namanya). Dan mempunyai dua orang anak, yaitu Habib Husin dan Habib Ahmad. Keturunan-keturunan beliau sampai sekarang tersebar di Hulu Sungai Selatan diantaranya di Taniran, Kandangan Hulu, Biluy, Muara Banta, dan yang paling banyak di Telaga Bidadari, Kecamatan Sungai Raya. Diantara nama-nama keturunan beliau yang sampai sekarang masih hidup adalah Habib Aziz (Muara Banta), Habib Yahya (Telaga Bidadari), Habib Yadi (Muara Hatip).

Mesjid Jannatul Anwar Lumpangi
Sayyid Abu Bakar bin Hasan Assegaf tidak diketahui apakah memiliki peninggalan-peninggalan tertulis. Hanya yang nampak dapat kita temui adalah Mesjid Jannatul Anwar yang bertempat di Jalan Brigjend H. Hasan Basry Desa Lumpangi (simpang tiga arah Batu Licin). Mesjid tersebut merupakan satu-satunya peninggalan beliau yang dibuat pada masa beliau berdakwah di Lumpangi bersama dengan ayah dan paman beliau.

Adapun karamah yang dimiliki Sayyid Abu Bakar bin Hasan Assegaf menurut penuturan Habib Aziz, pada zaman penjajahan Belanda baru datang di Kandangan yang berniat untuk mengusir beliau, Belanda mengajak beliau untuk beradu ilmu dengan perjanjian apabila Habib Abu Bakar kalah harus pergi dari tanah Kalimantan atau kembali ke Hadramaut. Habib Abu Bakar menerima tantangan tersebut dan apabila Beland yang kalah maka pihak Belandalah yang pergi dari tanah Loksado dan jangan mengganggu dakwah beliau. Pihak Belanda menyetujui dan bertanya kepada Habib Abu Bakar, “Ikan apa yang sekarang berada dan ramai di Belanda?”. Habib Abu Bakar kemudian memetik buah nyiur (buah kelapa) dan membelah buah nyiur tersebut. Maka muncullah seekor ikan dari dalam buah nyiur tersebut yang dimaksud orang Belanda. Sesuai dengan perjanjian maka pihak Belanda mundur dan menjauh dari wilayah dakwah Habib Abu Bakar.

Pernah juga terjadi setelah wafatnya Habib Abu Bakar sebagian prajurit pahlawan Bumi Pahuluan melarikan diri ke kubah Habib Abu Bakar saat dikejar Belanda. Karena menurut kepercayaan oranng-orang tersebut Habib Abu Bakar dapat menolongnya wlaupun sudah wafat. Kepercayaan merekapun akhirnya terbukti, saat mereka ditempaki oleh Belanda taka ada satu pelurupun yang mengenai mereka.


Sumber :
Wawancara biografi Habib Abu Bakar Assegaf  dengan Habib Aziz di rumah beliau, Perumnas Muara Banta Kandangan
Ahmad Harisudin. “Islam Loksado dan Sayyid Abu Bakr bin Hasan Assegaf”.  https://banjarhulu.wordpress.com/2011/02/20/islam-loksado-dan-sayyid-abu-bakr-bin-hasan-assegaf/. 

Tim wawancara:
 - Sanderi
 - Rahmat Hidayat

Urang Hulu Sungai - Asal Usul Orang Banjar

Selama ini jika kita berbicara tentang "Banjar", sepertinya selalu terbatas pada daerah Banjarmasin saja, kota yang berada di hilir sungai Barito atau di muara sungai Martapura, dekat dengan Laut Jawa.
Mengatakan jika Banjar hanyalah Banjarmasin tentu hal itu akan terasa sangat terbatas, siapa yang membaca buku Alfani Daud pasti mendapati catatan penelitian beliau di daerah Hulu Sungai, beliau sendiri merupakan urang Hulu Sungai asli.
Hulu Sungai adalah daerah tua yang tidak terlalu luas, dengan diameter hanya sekita 60 kilometer, pada jaman dahulu daerah ini berpenduduk lebih padat dari daerah manapun diseluruh Pulau Kalimantan, dipercaya di sana lah dulu kerajaan Tanjungpura pertama kali didirikan, juga dimana kerajaan Nansarunai pernah berdiri, kerajaan Dipa dan Kerajaan Daha pernah berada.
Jika melihat peta, daerah Hulu Sungai sangat jauh dari Laut Jawa di selatan Pulau Kalimantan, ratusan kilometer jauhnya, butuh beberapa hari berperahu dari muara Barito, sedang dari sebelah timur terhalang Pegunungan Meratus, di utara terhalang oleh pegunungan Muller yang tersambung pegunungan meratus, dan di sebelah barat dibatasi rawa-rawa dan Sungai Barito.
Orang-orang penduduk Banjarmasin dan Martapura sampai saat ini pun masih menyebut penduduk dari Hulu Sungai sebagai urang Hulu Sungai, begitu juga sebaliknya orang hulu sungai menyebut penduduk Banjarmasin dan Martapura sebagai orang Banjar.
Di Hulu Sungai secara lebih terperinci terbagi dalam beberapa kelompok berdasar nama-nama sungai besar yang ada disana seperti urang Amandit atau urang Kandangan, urang Alai atau urang Barabai, urang Pamangkih, urang Haruyan, urang Paringin, urang Amuntai, urang Alabio, urang Nagara, urang Kalua, urang Tanjung, urang Lampihong.
Hulu Sungai-lah sumber asal kebanyakan perantau yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Urang Banjar, urang Hulu Sungai-lah yang menyebar ke seluruh Nusantara, mereka bisa ditemukan hampir di setiap daerah di Kalimantan, bahkan di Borneo Malaysia dan Brunei, jutaan dari mereka ada di Sumatera dan Semenanjung Malaysia, begitu pula begitu banyak di Pulau Jawa, Bali dan Lombok bahkan Sulawesi.
Sayang memang, tidak banyak catatan dan penelitian tentang Hulu Sungai ini, kalaupun ada hanya sekilas saja.
Daerah Hulu Sungai adalah salah satu daerah paling makmur ketika jaman kolonial sebagai salah satu pusat karet dunia, tapi Hulu Sungai juga merupakan salah wilayah yang paling menentang penjajah jika dilihat dari banyaknya migrasi mereka ke luar Kalimantan dengan alasan politis karena ketidaksenangan berada dibawah kendali kolonial, urang Hulu Sungai juga mempunyai bakat berdagang yang baik, di Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur urang Hulu Sungai adalah penguasa perdagangan kelas menengah, bahkan dipedalaman Kalimantan sekalipun, lihat saja disana pasti ada pedagang urang Amuntai, urang Alabio.
Urang Hulu Sungai juga merupakan birokrat yang handal, banyak tokoh yang berasal dari Hulu Sungai (termasuk jaringan keluarganya) yang menjadi tokoh birokrat dan politik semenjak dari jaman kolonial hingga saat ini. Urang Hulu Sungai bisa diterima di daerah manapun di Kalimantan. bahkan urang Hulu Sungai dianggap sebagai representasi urang asli Kalimantan yang sangat berperan di perpolitikan nasional semenjak awal masa kemerdekaan.
Urang Hulu Sungai mempunyai identitas khas sebagai urang Islam yang taat, meskipun begitu urang Hulu Sungai juga mempunyai beberapa hal negatif yang sering disematkan kepada mereka, seperti suka berkelahi dan pantang mundur bila ditantang dimanapun mereka berada.
Sampai saat ini pun migrasi urang Hulu Sungai masih terjadi, di Pulau Jawa, misalnya di Situbundo (jika saya tak salah sebut) urang Banjar khususnya dari urang Nagara (wilayah di barat Kabupaten Hulu Sungai Selatan) adalah pedagang yang lebih banyak daripada urang China, urang Banjar banyak hadir di kota-kota utama di Pulau Jawa semenjak dahulu, seperti Surabaya, Semarang, Jogja, Solo, Bandung, dan pastinya Jakarta, selain pedagang urang Banjar juga banyak berprofesi menjadi ulama, dan sebagian malah preman.
Hulu Sungai memang unik, cilik riwut pernah menyebut dalam bukunya tentang urang Pamangkih di sungai Barabai yang masuk wilayah kecamatan Labuan Amas dan memasukkannya sebagai bagian dari sub Suku Dayak, Belanda pernah menyebut Dayak Mantaas di aliaran Sungai Batang Alai dekat Sungai Buluh dan Dayak Haruyan di hulu Sungai Labuan Amas, padahal daerah ini terletak di pusat Hulu Sungai, serta tentu saja juga disebutkan bubuhan bukit yang dianggap sebagai Banjar Meratus,
Bubuhan Labuhan (ada yang menyebutnya dengan Dayak Labuhan), yang hanya beberapa kilometer dari Birayang merupakan salah satu bubuhan bukit paling maju dan berpendidikan tinggi semenjak tahun 70-an, di didaerah Halong kabupaten Balangan kita akan menemukan Desa Kapul yang serupa dengan Bubuhan Labuhan yang juga berpendidikan tinggi. Ingat sekali lagi bahwa wilayah Hulu Sungai tidak lah terlalu luas.
Jika saja penelitian tentang Hulu Sungai sebagai bagian dari Banjar lebih digalakkan maka tentu saja akan sangat menarik.
Tentang Melayu, maka tak usah heran, sebagai sesama turunan Bahasa Austra, kita pasti tidak akan terlalu sulit untuk saling memahami Bahasa Melayu sebagai bahasa utama perdagangan dan diplomasi yang menyebar bahkan sampai ke Papua dan digunakan hingga saat ini, Bahasa Banjar pun tidak lah luput dari pengaruh bahasa tersebut, namun jangan salah, bahasa asli Hulu Sungai tentu juga ada, tidak jarang dalam Bahasa Banjar kita menemui dua kata yang mempunyai pengertian yang sama, seperti “sembunyi” dalam Bahasa Banjar pasaran dan "basungkup" dalam bahasa Hulu Sungai yang pengertiannya sama. Seperti dijelaskan, Bahasa Banjar Hulu Sungai lebih mirip dengan bahasa Dayak Kedayan, Kutai, dan beberapa sub suku di utara Kalimantan, juga tentu saja dengan bahasa beberapa suku lain sperti diseluruh Kalimantan.
Permasalahan pakaian dan tradisi orang Banjar yang mirip Melayu, maka kita pun akan melihat orang Kutai, Tidung , Paser, Bulungan, bahkan orang-orang Gorontalo yang jauh disana juga sangat Melayu, orang-orang Buton dan bahkan orang-orang Ternate, itu hanya masalah cara berpakaian di jamannya saja. Seperti kita juga saat ini yang terkena dampak hiruk pikuk fashion.
Secara pribadi saya tidak begitu setuju dengan penaman bagi seluruh suku di Kalimantan sebagai Dayak, seolah itu ingin menyamakan yang memang berbeda. Ada kelompok yang senang menyebut bahwa Banjar adalah keturunan Dayak, ada juga yang bersikeras bahwa Banjar berbeda sama sekali dengan Dayak. Tidak ada yang berdiri sendiri dalam dunia ini, nkita seolah akan kembali kelihatan sangat tidak nyaman jika hanya berpaku pada primodialisme. tapi saya juga memahami hal ini mau tidak mau akan terus dipertanyakan.
Dari Kalua (banua lawas), di bantaran Sungai Tabalong, di mana dahulu kerajaan Tanjung Pura dan Nan Sarunai pernah berdiri sungguh amat lah dekat jaraknya dengan Tamiyang Layang dimana urang Ma’anyan berada, Tamiyang Layang merupakan daerah tradisional Banjar, hingga jaman kolonial pun daerah itu dimasukkan dibawah kekuasaan Banua Lima, jika melihat peta pembagian daerah saat ini dimana Tamiyang Layang dimasukkan ke wilayah Kalimantan Tengah pasti akan bingung memahami sejarah sebenarnya.
Orang Kalua merupakan keturunan orang Ma'anyan asli.
Jika Tamiyang Layang berada hanya beberapa kilometer disebelah barat Kalua (Banua Lawas), Warukin berada hanya beberapa kilometer disebelah timur Kalua, Warukin merupakan daerah tradisional orang Ma'anyan semenjak dahulu kala, beberapa kilometer sebelah timur Warukin. Kita pun mendapati daerah Lampihong di sungai Balangan yang padat semenjak dahulu kala oleh orang Hulu Sungai.



Dengan sedikit bumbu penyedap.

Rabu, 17 Mei 2017

Monumen Proklamasi 17 Mei 1949 Mandapai


Batamuan pulang kita imbah lawas kahada manulis. Ini nih tulisan kadua ulun di tahun 2017 ini imbah paampihan di tahun 2015, tapi ini nih nang panambayan ulun publikasi akan di tahun ini. Maklum urangnya hauran haja.

Pas banar ini tanggal 17 Mai 2017. Langsung haja nah kita bakisah sadidikit kisah manganai Proklamasi 17 Mei 1949 Divisi IV ALRI Pertahanan Kalimantan. Mudahan bamanfaat gasan kita barataan khusunnya kita nang cinta lawan tanah air kita nang bungas ini.



          Kandangan, salah satu ibu kota di Provinsi Kalimantan Selatan. Siapa yang tak mengenal pesona alamnya yang indah, rindang dan masih asri? Siapa yang tak mengenal wisata kulinernya dodol manis legit dan karaunya Katupat Kandangan? Siapa yang tak mengenal masjid Su’ada Wasah yang lantainya terangkat? Dan siapa menyangka setiap berwisata ke Mawangi dan Loksado pastilah melalui desa Batu Bini dan Kampung Mandapai? Di sanalah, di Mandapai terdapat sebuah monument Proklamasi 17 Mei 1949 yang menyimpan sejuta sejarah dalam perjuangan mempertahankan Kalimantan dari penjajahan Belanda.

Monumen Proklamasi yang bertempat di Jl. Brigjend H. Hasan Basry Km. 12 Mandapai, Desa Batu Bini, Kecamatan Padang Batung, Kabupaten Hulu Sungai Selatan merupakan sebuah bangunan yang sangat bersejarah bagi rakyat dan pejabat di seluruh pelosok Kalimantan Selatan. Disanalah pertama kali proklamasi dikumandangkan yang pertama kali di Kalimantan Selatan bahwa Kalimantan Selatan juga termasuk ke dalam wilayah Indonesia Merdeka. Seorang pemimpin dan pelopornya adalah sama dengan nama jalan yang melintasi Mandapai dari Kandangan Hulu hingga Loksado sebagai dedikasi yang diberikan kepadanya, yaitu TNI ALRI Brigjend. H. Hasan Basry.

Brigjend. H. Hasan Basry yang makamnya di Bundaran Liang Anggang. Siapa menyangka beliau adalah warga banua Bumi Pahuluan Kandangan yang lahir di Desa Karang Jawa. Beliaulah yang  memperjuangkan dan memproklamasikan kemerdekaan wilayah Kalimantan yang kala itu tidak termasuk dalam wilyah Indonesia merdeka dalam perjanjian Linggar Jati. Beliau pulalah yang menjadi pemimpin atau Gubernur ALRI Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan.

Perjuangan Brigjend. H. Hasan Basry sangatlah patut diacungi jutaan jempol oleh rakyat Kalimantan. Kepemimpinan beliau berhasil membawa Kalimantan Selatan kapada wilayah Indonesia merdeka. Beliau sangat berjasa dan sangat pantas menerima gelar Pahlawan Nasional.  Kalau bukan karena beliau kita tidak tahu apa jadinya kampong halaman tercinta kita ini Kandangan bahkan Kalimantan Selatan.

Setiap tahun di Kandangan selalu dilaksanakan upacara peringatan Proklamasi 17 Mei 1949 Divisi IV ALRI Pertahanan Kalimantan. Yang biasanya pastilah Gubernur Kalimantan Selatan, pejabat tinggi di ranah TNI, khususnya TNI AL, Bupati Hulu Sungai Selata dan pejabat-pejabat tinggi lainnya di Pemda Hulu Sungai Selatan maupun Pemprov Kalimantan Selatan. Sebahagian pelajar, mahasiswa dan ormas juga ikut serta dalam upacara tersebut. Selepas upacara tersebut, juga dilakukan pelepasan peserta napak tilas.

Napak Tilas adalah agenda rutin tahunan yang dilaksanakan oleh DPD KNPI Hulu Sungai Selatan setiap bulan Mei. Kegiatan ini bertujuan untuk menapak tilasi perjuangan Brigjend. H. Hasan Basry dalam mempertahankan Kalimantan Selatan. Kegiatan ini biasanya dipesertai oleh tim-tim dari berbagai kalangan masyarakat. Baik dari pelajar, pegawai, karyawan, ormas, dll. Setiap tim terdiri dari 5 orang yang telah terdaftar sebelumnya di kepanitiaan Napak Tilas oleh DPD DPD KNPI Hulu Sungai Selatan.

Napak tilas ini biasanya dilaksanakan selama empat hari tiga malam. Dengan hari pertama pelepasan peserta biasanya dilaksanakan di Lapangan Lambung Mangkurat Pusat Kota Kandangan. Lalu berjalan kaki ke GOR Aluh Idut Parincahan atau ke Gedung Juang di Tibung Raya. Kemudian peserta diangkut dengan truck ke Telaga Langsat. Dari Telaga Langsat berjalan ke Ambutun, Karang Jawa, Kaliring, Jembatan Merah, Padang Batung dan ke rumah sejarah di Durian Rabung. Setelah itu bermalam di SMPN 2 Padang Batung atau di MTsN Durian Rabung.  Hari kedua peserta berjalan kaki lagi dari Padang Batung hingga ke Ni’ih, Kecamatan Loksado. Di Ni’ih inilah terdapat Tugu Ni’ih yang mana merupakan tempat penandatangan Naskah Proklamasi oleh Brigjend. H. Hasan Basry. Dan kemudian bermalam di objek wisata Air Panas Tanuhi. Hari ketiga selepas bermalam di Tanuhi peserta kembali berjalan kaki lagi menuju Monumen Proklamasi 17 Mei 1949 di Mandapai dan bermalam lagi di sana. Pada hari ke empat peserta melanjutkan perjalanan lagi dari Monumen 17 Mei 1949 Mandapai  ke Kampus Perjuangan yang berada di desa Karang Jawa. Setelah itu kembali lagi ke Lapangan Lambung Mangkurat Kandangan.

Dengan menapak-tilasi perjuangan Brigjend. H. Hasan Basry bersama rakyat Bumi Pahuluan, seyogyanya kita sebagai manusia yang cinta dengan tanah air juga ikut merasakan bagaimana perihnya dan susahnya perjuangan kala itu. Supaya nkita bersyukur atas nikmat Allah yang Dia berikan kepada kita di zaman sekarang yang tanpa berjuang sedemikian rupa seperti dulu. Di dalam kegiatan napak tilas juga dituntut agar tercipanya kerjasama tim, terdapat nilai kebersamaan dan kekompakan yang juga mencerminkan perjuangan Pahlawan Bumi Pahuluan kita, Brigjend. H. Hasan Basry.

Habiss…


Penulis : Saadillah Mursyid

Selasa, 25 Agustus 2015

Kisah Bahasa Banjar : KARINDANGAN

      Urang bahari mamadahi anak bibinian atawa anak lalakiannya, kalau mamancuk jangan kada bauyah, kaina karindangan surangan, urang nang dicintai kada tahu-tahu, kada taucapakan dipandam ja surang. Itu ujar urang bahari, bujur kadanya kita kada tahu, apakah hanya sakadar mitos.
      Dipikir-pikir kadada hubungannya antara mamancuk kada bauyah lawan karindangan surangan. Tapi kalau dipipikirankan pulang pinannya ada jua hubungannya, urang nang mamancuk kada bauyah jalas kada nyaman, ada nang kurang gitu lu. Nah hubungannya mungkin kabiasaan urang mamancuk tu ada pasangannya yaitu uyah, nah karana kabiasaan mamancuk kada bauyah lalu jadi kada manyaman, jadi do'a ai bila surang handak urang kada handak, urang handak surang kada handak. Pas iiyaan hati batagar mahandaki bibinian atawa lalakian lalu karindangan surangan nai.
      Cinta datang kada disangka, cinta bisa jua datang dari pandangan partama alias pamulaan batamu. Bisa jua karana kararancakan batamu ahirnya jatuh cinta. Cinta itu anugrah, bila cinta sudah hadir ka dalam jiwa, dunia tarasa indah kalau cintanya barbalas kada batapuk sabalah tangan. Namun cinta bisa jua jadi siksa kala cinta tak barbalas.
      Satiap urang pasti suwah marasaakan jatuh cinta, kayaitu juwa Utuh Badrun, gadis nang dihandakinya bangaran Aluh Melati, sasuai lawan ngarannya, urangnnya putih, rambutnya maikal mayang, hidungnnya mancung, bibirnya tipis mangulit bawang, awaknya tinggi samampai, pinggulnya aduhai, urangnya pangurihingan, pukuknya siapa nang malihat pasti mangagumi kabungasan Aluh Melati.
      Saban hari, satiap saat Utuh Badrun inya kaganangan lawan aluh Malati, utuh baastilah inya duduk di ambin manjagai Aluh kalu pina liwat. Bila Aluh liwat di muka rumahnya Utuh marasaakan jantungnya gadugupan batambah kancang, tapi Utuh hanya bisa maitihi Aluh nang liwat di muka rumahnya, marawapun inya kada wani, maklum Utuh Badrun urangnnya panyupan.
      Bila malam hari, Utuh lawas hanyar taguring, matanya cagat kaatas, mamikirakan, mangganangakan kabungasan Aluh. Inya manggarunum surang, sambil bapantun nang dilaguakan kaya urang mambaca syair
   “Kucing kurus mandi di papan,
   mandi dipapan sikumbang jati,
   awak kurus bukannya kada makan,
   awak kurus karna sijantung hati.
   Tiup api di gunung Lidang,
   Abu-abunya kutampi juwa,
   maksud hati salagi bujang,
   balu-balunya kuhadang juwa”
     "Aluh Malati, Aluh Malati, bauntung banar kalau aku dapat manyuntingmu jadi bini, tapi aku kada wani Luhai, ikam urang sugih, aku urang miskin, ikam urang bapandidikan aku kahada, ibarat handak mamaluk gunung apadaya tangan kada hampai, ibarat pungguk marindukan bulan. Tapi, aku kada kawa Luhai mangusir bayang wajahmu, waktu makan, waktu minum aku kagadangan lawan ikam, waktu bakakawanan aku kaganangan lawan ikam, apalagi waktu malam sunyi mataku kada kawa dipijimakan aku salalu ingat lawan kurihingmu nang manis, tutur sapamu nang santun, aduhai Aluh kanapa jua aku ini, ohh… adakah juwa sakit karindanganku ini akan taubati." Jar Utuh gagarunum mangganang Aluh Malati.
     Malam tarus marangkak, tapi mata Utuh balum juwa mau bapajam, jam dinding sudah manunjukkan angka dua, Utuh Badrun bangun dari tampat kaguringannya, lalu inya maambil air wudhu, sambahyang tahajjud, limbah sambahyang inya munajat kapada Allah banyu mata Utuh Badrun mangucur daras, sakit rasanya hatinya mananggung rasa yang sangat mandalam, mungkin sudah mandarah daging, ngalih sudah dibuwangi. "Ya Allah aku tahu parasaan ini Engkau nang mambarikan parasaan ini lawan diulun, bimbing ulun Ya Allah." Utuh maingui manangis. "Kalau mimang Aluh Malati itu juduh ulun, bari inya juwa parasaan yang sama lawan diulun, Mun mimang bukan juduh ulun Ya Allah bari ulun katabahan manjalani cubaan cinta yang Engkau bari ini, sanggupkah ullun Ya Allah hidup tanpa kahadiran Aluh. Awak ulun sudah kurus nang kaya ini karana mangganang inya, mungkinkah inya handak juwa lawan diulun yang sudah kurus ini, ya Allah, ulun tahu bapacaran tu kada bulih, kadada dalam Islam, makanya ulun kada handak mautarakan parasaan ulun ini lawan Aluh. Handak malamar ulun kada wani ya Allah. Ya Allah salahkah urang miskin mancintai urang yang sugih, salahkah ulun Ya Allah. Kalau mimang salah ampuni ya Allah." Itulah munajat yang Utuh Badrun sampaikan dikeheningan malam.
      Kaisukan harinya Utuh mandapat patunjuk, supaya inya bausaha mamparjuangakan cintanya, Inya lalu bapadah lawan kuwitannya Asyikin atau Julak Ikin.
     “Bah ulun ti bahai karindangan lawan Aluh Malati nang rancak liwat di hadapan rumah kita, cuba pang Bah pian badatang karumah kuitannya, lamarakan sagan ulun, ulun pang rasa kada tahan lagi maarit parasaan ulun ini.” Ujar Utuh Badrun baucap lawan abahnya.
     “Tuh..! abah hakun haja mandatangakan ikam, tapi sudahlah ikam pikir masak-masak, ikam sudah tahu kaadaan kita nang kayamapa. Kaluarga kita kada sabanding lawan kaluarga urang, kita urang miskin, urang kaluarga sugih, mun handak juwa cari nang sapadan lawan kita.” Jar abahnya mambari pangartian lawan Utuh.
     “Ulun sudah juapang mamikirakan napa yang pian pikirakan, tapi kadada salahnya kita mancuba, mun urang manulak jua apa bulih buat, artinya kita sudah bausaha”.
     “Ada dua kamungkinan nang harus ikam pikirakan nakai, mun ikam ditarima juwa nakai, lalu jadi kawin juwa lawan inya. ikam harus siap sakit hati, karna biasanya urang sugih mun agamanya kada mantap nakai, nang dipikirakannya nang dibangga-banggakannya hartanya haja, mun ikam bahual laki-bini kaina, pasti inya baucap napa nang ikam bawa kasini, hanya mudal dangkul dan sapuluh jari, lawan rudal nang sabuting ngitu. Itu parlu jua ikam juju ikam pikirakan! Mun ikam ditulak, ikam harus siap juwa sakit hati, baarti Allah handak mambari nang labih baik lagi manurut pangatahuan Allah, karana apa yang kita cintai balum tantu baik manurut pandangan Allah, dan apa yang kita banci dan kada kita sukai bulih jadi baik untuk kita manurut pandangan Allah”. Jar Abahnya Utuh.
     “Inggih bahai, ulun sudah siap mananggung risikunya”. Jar Utuh Badrun mantap.
     “Mun ikam sudah yakin, sudah mantap kayaitu, abah juwa siap batatang”.
Malam jumahat Abahnya Utuh laki bini badatang karumah kuitannya Aluh Malati, sidin dua laki bini disilahkan duduk, lalu ditakuni
     "Napa habar pian datang ka sini" Jar H. Kaspul abahnya Aluh
    "Habar baik, kami datang kasini handak batakun.. jukung nang ada dirumah ini sudah ada kah nang manalii, kami handak jua umpat batanam pisang di sini." Ujar Julak Ikin mautarakan maksud katangan sidin mamakai bahasa ibarat.
     “Uh, kaya itu kah"
     Samantara itu di rumah Utuh Badrun bulang bulik bajalan di rumahnya, mahanu duduk, kada lawas duduk inya badiri, inya mamikirakan ditarimakah kada lamarannya. Ya Allah mudahan ditarima, ya Allah kabulakan ya Allah hajat Ulun.
      “Kami sakaluarga batarimakasih lawan sampian atas katangan sampian mailangi kami”. Jar H. Kaspul
     “Kada usah babasa basi abahnya ai" jar Hj. Ipat mambisiki nang laki “Tulak haja, kada sudi aku babisan lawan urang miskin, hei…” Sambil bakirik. Julak Ikin sudah bisa mambaca galagat nang kada nyaman dari raut muha Hj. Ipat, tapi sidin tatap bausaha tanang, dan manahan parasaan sidin.
     “Kaya ini lah, jukung nang ada di rumah ini balum ada pang nang manalii, tapi kami barunding dahulu, lawan kami harus tahu juwa kaya apa pandapat Aluh Malatinya, kami kada kawa mamutusakan malam ini”.  H. Kaspul baucap lamah lambut, supaya urang kada tasinggung atawa sakit hati.
     Tapi nang bangaran Hj. Ipat sidin kada kawa maharit bila sidin kada katuju, disisitu jua diucapakan sidin.
   “Maaf pang lah, bujur haja Aluh Malati balum ada nang malamar tapi kami sudah barancana manjuduhakan lawan anaknya H. Marwan, jadi supaya kada tabulik-tabulik pamandiran kita, kita putusakan malam ini jua, aku dahulu saikung kada manarima, mangartiai kalu sampian”. Jar Hj. Ipat baucap nang cukup manusuk parasaan Julak Ikin lawan bini sidin.
     Lalu Julak Ikin baucap sambil bausaha manahan sakit hati sidin, namun suara sidin pina manggatar.
    “Inggih kami mangarti banar, kami dasar urang miskin, kada pantas rasanya badampingan lawan urang sugih, tapi kami manulusakan hati anak kami yang karindangan banar lawan anak sampian, kami sudah mambari pangartian lawan inya tapi inya tatap jua manyuruh kami badatang”.
    "Uu, abahmu kita bulikan ha lagi, manyakiti hati banarai balawas-lawas di sini" Jar bini Julak Ikin mambisiki laki sidin.
      Mandangar pamandiran abahya Utuh, Aluh Malati nang mahintip, mandadangarakan di balakang dinding, inya manangis, tarnyata cintanya kada batapuk sabalah tangan, rupanya Aluh baisi jua parasaan nang sama lawan Utuh Badrun. Inya manangis lantaran umanya baucap kasar lawan kuwitan Utuh Badrun, dan kadada harapan cinta buhannya basatu.
     “Umayahai…. mama purunnya pang sidin baucap nangkaya itu, balum lagi manakuni lawan diulun sudah mamutusakan kayaitu, manjuduh-judahakan ha pulang lawan anak H. Marwan.” Ujar aluh baucap dlam hati sambil titikan banyu matanya.
     H. Kaspul kada kawa manangati nang bini, walau sudah maisyarat lawan mata sidin supaya nang bini paham, jangan sampai bapandir manyakiti hati urang. Balum sampat Julak Ikin lawan nang bini minum banyu nang dibawakan Aluh Malati, sidin badiri sambil baucap :
     “Mun kaya itu, kita sudahiyai pamandiran kita sampai di sini, kami muhun pamit, sampayakan salam kami lawan anak sampian, dan padahakan lawan inya Utuh Badrun karindangan banar lawan inya, cinta banar lawan inya, sampai tagaring-garing”.
     Mandangar kaya itu Aluh samakin maingui, maisak, balilihan banyu matanya kada kawa diarit-arit. Julak Ikin laki bini bulikan, langsung manunti Utuh Badrun nang sudah mahadangi di rumah. Utuh malihat muha kuitannya pina masam, marangut, inya sudah bisa manyimpulakan pacang mandangar habar nang kada nyaman. Tapi inya sudah siap apapun nang akan tarjadi.
      "Nak sudah abah padahakan lawan ikam, kita kada pantas bawarang lawan urang sugih, sakit hati kuitan ikam diucapi urang yang sakasar itu, ditulak bahahadapan, rasa ditapas nakai muha kuitan ikam, mulai wayahini buang parasaan ikam lawan aluh Malati." Jar Julak Ikin maucapi Utuh Badrun.
      Mandangar pamandiran Abahnya, Utuh maragui rabah. Mulai wayahitu inya kada hakun makan.
     Satangah bulan sudah, Utuh barabah diranjang, mananggung rindu, cinta dandaman yang kada mungkin lagi dihilangakan di hatinya. Ditambah inya mandangar habar Aluh sudah dilamar kaluarga H. Marwan, maginnyaai hati Utuh batambah padih, sakit bagai disayat sambilu.
      Hari ini Ahad, Aluh akan basanding di palaminan lawan Utuh Jarni, anak H. Marwan. Rupanya hari itu Utuh Badrun saulah dibari kakuatan yang dakhsyat, inya kawa babangun, inya handak badapat lawan Aluh Malati, maksudnya itu dikabulakan kuitannya.
      Di tangah mariahnya urang maucap doa rastu hagan kadua mampalai, Utuh Badrun hadir dangan linang air mata, mata yang sudah cakung, awak yang sudah ringkih dimakan rindu karindangan, lalu inya baucap lirih.
    "Duhai Aluh Malati, aku rila dunia akhirat ikam balaki, namun, parlu ikam tahu aku akan tatap mancintaimu, biarlah ku bawa rinduku, cintaku, sampai ajal manjamputku. Luh aku mancintaimu".
      Imbah baucap mautarakan parasaannya di hadapan Aluh dan lakinya, Utuh Badrun maragui rabah,  dan Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.
     Lalu Aluh Malatinya bukah manyasah ka wadah Utuh Badrun, inya asa kada parcaya Utuh mati, ditinggalkan lakinya nang masih di palaminan. Lalu ai Aluh langsung maragap ka mayat Utuh lalu ba ucap "Ulun gin mencintai pian jua ka Utuh ai, tapi ulun kada badaya karna kuitan ulun." Sambil barubuian banyu mata "Cinta pian terbalas tapi kada didunia melainkan di akherat."
     Urang nang saruan gen umpatan jua titik banyu mata malihat sapasang insan nang terpanjara cinta. Kuitan Aluh Melatipun pina ada manyasal malihat anaknya pina kaya urang gila manangisi mayat di hadapan urang banyak. 
       Lalu apa nang tarjadi, pas rahatan abut di pangntin bahwa Utuh Badrun mati sampai katalinga kuitan Utuh, mahancap kuitannya manunti ka acara kawinan. Pas hudah sampai langsung lamah lintuhut malihat anaknya si Utuh Badrun kada bagarak sambil dipaguti wan Aluh Malati. lalu abahnya baucap "Hann Luh, tahu kalu ikam bahwa Utuh ngini dasar cinta wan ikam tapi kada kawa manyampaikan nya kaadaan kami nang miskin nang rancak dihina wan kuitan ikam. Kami ni sadar haja pang kadahada nang kawa dibanggaakan."
      "Sudah paman, cukup kada usah lagi pian bapandir ulun kada kawa mandangar lagi." Ujar Aluh sambil lilihan banyu mata. "Ulun gin sabujurnya mancintai kaka Utuh jua paman ai. Tapi ulun takutan wan kuitan ulun, manantang kalu katulahan jadi ulun apa ujar kuitan ulun haja paman ae." Sambil baisak, barubuyan banyu mata Aluh.
       "Ayuhaa sudah.. nang sudah tu sudah ai lakasi ikam basanding, tu laki ikam malihati banar." Ujar abah utuh.
      Lalu pina lamah awak sambil badiri Aluh bajalan bagamat handak mamaraki palaminan, nang ngaran mata lain, hati lain leehhh ada-ada haja kahandak pas tajajak baju pangantinnya saurang nang panjang baparir ka lantai tu, tajarungkup Aluh lalu tahantup biding palaminan ulin kapalanya badarah, pas mati jua Aluhnya.. hann kajadian ti kalu, kada itih pang mata.
Lalu ai nah judulnya baganti wan "Akhir Cinta di Palaminan"
Hihihi :D

Kamis, 13 Agustus 2015

Hari Jadi Kalimantan Selatan ke-65



DPRD Kalimantan Selatan dengan surat keputusan No. 2 Tahun 1989 tanggal 31 Mei 1989 menetapkan 14 Agustus 1950 sebagai Hari Jadi Provinsi Kalimantan Selatan.
Melalui Peraturan Pemerintah RIS No. 21 Tahun 1950, Kalimantan Selatan dibentuk pada tanggal 14 Agustus 1950 setelah pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS), dengan gubernur Dokter Moerjani.
Sekarang tahun 2015, Kalimantan Selatan sudah berusia 65 tahun.
Berikut paparan yang saya dapat dari situs resmi kalsel :

Tema:

"SAARAH SATUJUAN, SAJUKUNG SAHALUAN, SAHATI SAKATA"

  • Nang dimaksud Saarah Satujuan, Sajukung Sahaluan, Sahati Sakata
Kita harus tatap satia wan Pancasila, UUD 1945, NKRI, jua wan Proklamasi Kemerdekaan Divisi IV ALRI Pertahanan Kalimantan. Kita harus tatap barakat-mufakat dalam membangun banua, kita harus akur barataan mulai warga kampung, wakil rakyat jua pejabat pamarintah lainnya. Ngapa nang dikahandaki warga, ngapa nang parnah dijanjiakan, ngapa nang pernah dirapatakan, mulailah digawi sasuai rancana. Sasuaikan antara suara hati nurani, suara rakyat wan perkataan kita dalam kehidupan sahari-hari.

  •  Pasan dan Harapan
Jangan handak manghianakati NKRI.
Jangan lagi ada dusta-mandustai.
Jangan handak manghianati pajuan bangsa maupun daerah kita.
Jangan handak nyaman saurangan haja sadang warga mandarita.

Bila rancak mandustai, bila katuju ingkar janji, itulah panghianat sajati.

Urang kampung jangan dihimungi janji-janji nang kada mungkin digawi.
Urang kampung jangan ditipu wan galar atau ijazah palsu.
Urang kampung jangan disakiti wan hukum nang kada adil.
Urang kampung harus maju, makmur wan pandidikan dan tinggi.

Filosofi dan Makna:

Warna Hijau: memiliki arti Kesuksesan, Kreatif, Kesuburan dan Persahabatan
Warna Kuning: memiliki arti Kebersamaan, Kesetiaan dan, Kemakmuran
Warna Merah: memiliki arti Keberanian, Kekuatan, Semangat dan, Bertanggung-jawab

Ditambah dengan lambang Jukung Tambangan sebagai alat transportasi Kalimantan Selatan pada tempo dulu yang memiliki makna kebersamaan dalam mengayuh biduk kehidupan untuk mencapai satu tujuan. Ditambah sedikit pola motif kerasi kembang kenangan untuk menghiasi diatas angka 6 yang memiliki makna keharuman dan kharisma yang tinggi bagi sebuah kota yang  maju.

Kamis, 11 Desember 2014

Dewasa dan Kedewasaan


A.    Pengertian dewasa
Ada beberapa macam pendapat yang dikemukakan oleh beberapa orang yang saya tanyai. Yaitu :
Menurut Wikipedia ensiklopedia bebas Istilah dewasa menggambarkan segala organisme yang telah matang, tapi lazimnya merujuk pada manusia. dapat didefinisikan dari aspek biologi yaitu sudah akil baligh, hukum sudah berusia 16 tahun ke atas.
Menurut Nuriatul Ummi (Mahasiswi UNLAM prodi PLB), dewasa adalah orang yang mampu menempatkan diri pada yang semestinya, bisa berfikir kritis dan logis tentang suatu hal, dan mampu mengendalikan egonya.
Menurut Yuli Sugiarti, S.Pd (Guru BK), dewasa adalah seseorang yang mempunyai cara pandang dan cara berfikir yang selalu positif, mempunyai emosi yang tenang (tidak labil).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan dewasa adalah orang yang dapat membedakan antara yang Haq (benar) dan yang Bathil (salah) untuk dirinya sendiri dan orang lain.

B.     Faktor penyebab kedewasaan
Faktor-faktor penyebab seseorang menjadi dewasa hanya ada dua, yaitu internal dan eksternal.
a.       Faktor Internal
Faktor internal adalah factor yang datang dari dalam diri seseorang, sifatnya adalah keinginan atau hasrat yang muncul dan datang atas keinginan orang itu sendiri. Biasanya factor ini berkaitan dengan hubungan antara manusia dan Tuhannya, seperti :
1.      Renungan diri atas kejadian yang pernah terjadi di masa lalu (kesalahan).
2.      Kesadaran bahwa hidup tidak cuma mengejar kebahagiaan dunia.
3.      Hasrat/dorongan untuk menjadi orang yang lebih baik lagi.
b.      Faktor Eksternal
Factor eksternal adalah factor yang datang dari luar, bukan dari dirinya sendiri, melainkan karena orang lain atau lingkungan sekitarnya. Factor eksternal ini juga sangat besar pengarunya terhadap kedewasaan seseorang. Karena manusia adalah makhluk social, jadi tidak mungkin manusia hidup sendirian tanpa kelompok (keluarga/teman). Factor ini berupa :
1.      Lingkungan keluarga, kedewasaan seorang dapat muncul atau tidak muncul karena pendidikan yang diberikan oleh keluarga. Cenderung apabila seseorang mempunyai anak, anaknya akan tidak jauh beda dengan orang tuanya. Seperti pepatah “buah tidak jauh jatuh dari pohonnya”. Semestinya orang tua harus memberikan pendidikan yang benar terhadap anak.
2.      Lingkungan pergaulan, pergaulan atau pertemanan merupakan aspek sekunder yang harus diperhatikan untuk kedewasaan seseorang. Teman yang di sekitar atau dekat kita dapat mempengaruhi cara berfikir kita, cara bertindak kita, dll. Ada yang mengatakan “orang yang tidak menjual wewangian (minyak harum) akan berbau harum kalau berteman dengan orang yang menjual wewangian (minyak harum).
3.      Masalah, masalah biasanya didapatkan karena adanya interaksi dengan orang lain. Apabila seseoarang dapat berada di atas masalah dengan cara yang positif. Dia akan menjadi orang yang lebih dewasa. Karena kita dapat belajar dari pengalaman.

C.     Ciri dewasa
Seseorang sudah bisa dikatakan dewasa jika :
1.      Dapat membedakan antara yang benar dan yang salah,
2.      Dapat berfikir positif,
3.      Memiliki tanggung jawab terhadap diri sendiri,
4.      Dapat menjadi tanggung jawab bagi orang lain,
5.   Dapat mengontrol emosi (ego diri).


by SMursyid

Rabu, 03 Desember 2014

Mesjid Su’ada (Mesjid Ba'angkat)



Dalam rangka lomba Blog Karya Tulis di kalangan Pemuda DISHUBKOMINFO Kab. HSS saya membuat sebuah artikel terkait Cinta HSS yaitu tentang Mesjid Su'ada atau disebut juga Mesjid Ba'angkat.. Cekidott...

               Mesjid Su’ada adalah Mesjid yang berada di Desa Wasah Hilir Kec. Simpur Kab. HSS.. Mesjid ini dibangun pada tahun 1908 M yang bertepatan dengan tanggal 28 Zulhijjah 1328 H. Usia Mesjid ini sudah seabad lebih, namun desain dan bentuknya  tetap kokoh dan kuat. Mesjid ini masih menggunakan desain pertama pembangunan, yaitu gaya klasik dan tidak terpengaruh oleh gaya modern yang berkembang pada saat ini. Kalaupun ada perbaikan, hanya mengubah warna cat dan mengganti atap yang rusak dan tidak mengubah sedikitpun bentuk dasar Mesjid ini.
                Mesjid ini merupakan tempat ibadah umat Muslim sekaligus bangunan unik yang menjadi aset budaya Kab. HSS. Karena bentuk lantainya yang terangkat. Mesjid Su’ada juga dikenal dengan sebutan Mesjid Ba’angkat. Mesjid ini mendapat perlindungan sesuai Undang-undang Republik Indonesia tahun 2010 tentang cagar budaya yang di SK-kan oleh PemProv pada tahun 2011.
                Pada awanya pembangunan Mesjid ini dipelopori oleh dua orang ulama, dan juru da’wah buyut dan intah dari Al-Allimul Allamah Maulana Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari yang bernama  Al-Allamah Syeikh H. Abbas dan Al-Allamah Syeikh H. Muhammad Said. Mesjid ini dibangun dan berdiri di atas tanah waqaf dari Mirun bin Udin dan Asmail bin Abdullah dengan luas 1047,25 m2.
                Arsitektur Mesjid ini adalah yang terunik di HSS. Bangunan Mesjid berbentuk segi empat, bertingkat tiga dengan loteng yang menutupi gawang atap puncak. Tongkat-tongkat ulin berperan sebagai penyagga bangunan panggung tanpa jendela. Terdapat juga pintu-pintu yang menjulang tinggi tanpa ventilasi berjumlah 21 buah yang di atasnya terdapat macam-macam tulisan kaligrafi yang menawan dan indah. Masing-masing tingkat memiliki filosofi atau makna yang sesuai dengan ajaran Islam, tingkat pertama Syari’at, kedua Tarikat, dan ketiga Hakikat. Loteng yang menutupi gawang di bawah atap puncak bermakna Ma’rifat.              Petala Mesjid juga sangat unik, puncaknya yang bulat sempurna berkilauan dihiasi cabang-cabang pohon yang berbunga dan berbuah. Petala ini merupakan lambang kesempurnaan Ma’rifatullah.
                Pesona Mesjid ini tidak hanya terletak pada arsitekturnya yang unik. Namun, terdapat juga pada kisah dibalik pembangunan Mesjid ini. Konon, dahulu kayu yang digunakan sebagai tongkat induk mesjid ini salah satunya tidak cukup panjang meskipun sudah disambung. Tukangpun menjadi bingung karena kehabisan kayu untuk menyambung. Kemudian Al-Allamah Syeikh H. Muhammad Said berkata “Kalau untuk penyambung tiang itu tidak ada lagi, maka biarkan saja sampai esok”. Keesokan harinya setelah di ukur kembali, tiagnya menjadi cukup. Begitu pula ketika keempat tiang induk akan didirikan, terlebih dahulu Al-Allamah Syeikh H. Muhammad Said mengelilingi satu persatu tiang tersebut. Kemudian dikomando oleh beliau dengan mengucap shalawat lalu ditariklah tiang pengikat itu oleh seorang wanita yang hamil mandaring (hamil pertama) dengan dibantu oleh 15 orang laki-laki. Belum selesai tali itu ditarik, ternyata tiang itu sudah berdiri tegak.
                Menurut warga setempat, sungai kecil yang tidak jauh dari Mesjid itu berada, juga merupakan bagian dari pembangunan Mesjid ini. Pasalnya kayu ulin yang diangkut meninggalkan bekas kikisan tanah yang dalam. Sebelum tongkat induk didirikan pada malam hari, siangnya terjadi hujan yang sangat deras, sehingga kikisan tanah terisi oleh air dan menjadi sungai yang mengalir. Setelah seratus tahun, sekarang sungai tersebut sudah menjadi sungai yang kecil karena terjadi pendangkalan.
                Hingga sekarang, Mesjid Su’ada sudah cukup ramai oleh pengunjung yang datang dari HSS maupun luar HSS. Apabila ada pengunjung yang datang, fasilitas di Mesjid ini juga sudah memenuhi standar sebagai tempat wisata cagar budaya. Banyak wisatawan yang sekedar berkunjung saja, berfoto dengan keluarga hingga foto preweedding. Karena tempat ini sangat bagus dan menarik sebagai background foto.
               
Sebagai warga HSS sudah selayaknya kita mencintai daerah kita sendiri, pepatah mengatakan “Banyak jalan menuju roma”. Pepatah tersebut menjelaskan bahwa banyak cara kita untuk membuktikan cinta kita kepada HSS. Salah satunya dengan menjaga, merawat dan memelihara bangunan unik yang dipaparkan di atas, Mesjid Su’ada.  Bangunan cagar budaya yang masih dipakai dan aktif sampai sekarang sebagai tempat peribadatan Ummat Muslim merupakan salah satu mahakarya yang harus dilestarikan.

Berikut Gambar-gambar Mesjid Su'ada   :






 

Blogroll

Note by Admin :

Syukran telah berkunjung.. Salam Ukhuwah Fillah.. ^o^